Kamis, 08 Desember 2016

SOLID GOLD BERJANGKA | Berita Palsu & Peran Inisiatif Sosial Media

PT SOLID GOLD BERJANGKA - Twitter Indonesia tidak begitu khawatir dgn penyebaran berita palsu.

Head Country Twitter untuk Indonesia Roy Simangunsong, beralasan pengguna mikroblog ini lebih dewasa dalam menyikapi berita-berita kredibilitasnya meragukan.

"Kalau fake news ini yg saya lihat secara pribadi pengguna Twitter sifatnya lebih mature, jarang men-sharing berita-berita yg sifatnya fake news," kata Roy kepada juru warta di Jakarta, Selasa (6/12).

Roy jg menilai peran media massa Indonesia yg memiliki akun di Twitter turut membantu menyaring informasi-informasi palsu di ranah Twitter.

Itu sebabnya Roy tak begitu khawatir dgn ancaman yg ditebar oleh berita palsu yg belakangan marak ini.

Untuk menanggulangi distribusi berita palsu, Twitter mengandalkan dua cara yaitu algoritma & laporan dari pengguna.

Namun Roy menenkankan tindakan Twitter dalam memberantas berita palsu lebih ke laporan pengguna.

"Tidak perlu ratusan atau ribuan, kalau ada 2 atau 3 laporan pelanggaran maka akan segera diproses," ujar Roy.

Langkah ini terkesan pasif untuk dijadikan solusi mengatasi persebaran berita palsu.

Sebagai contoh, kasus pemilihan presiden Amerika Serikat yg dimenangkan oleh Donald Trump memanfaatkan penyebaran sentimen negatif berita palsu yg menguntungkannya di sejumlah media sosial seperti Twitter & Facebook.

"Nyatanya dalam hal angka, saya punya kekuatan yg begitu besar di Facebook, Twitter, Instagram, & lainnya," ucap Trump seperti yg dikutip dari The Verge.

"Saya rasa media sosial punya kekuatan lebih besar ketimbang uang yg mereka (kubu Hillary Clinton) habiskan."

Dipimpin oleh situs berhaluan kanan, Breitbart, Trump memperoleh dukungan yg fantastis selama masa kampanye.

Breitbart menggalang 16 juta pengikut Trump di Twitter & 16 juta di Facebook.

Lewat media sosial, Trump punya ruang yg begitu besar membalas kritik yg ia terima dari media arus utama.

Breitbart pernah beberapa kali membuat berita palsu yg menyerang langsung lawan-lawan politiknya.

Salah satu yg paling terkenal adalah artikel Breitbart yg menuduh Barack Obama & Hillary Clinton sbg pendiri ISIS.

Tulisan itu dibuat berdasarkan ucapan Trump.

Ironisnya, Trump, melalui akun Twitter resminya, mengakui perkataannya hanyalah ungkapan sarkasme.

Namun artikel Breitbart ini telanjur populer.

Cukup mengetik kata kunci 'breitbart', 'isis', 'obama', & 'hillary', dapat terlihat bagaimana seriusnya pendukung Trump menelan informasi itu & menyebarluaskannya.

Sejumlah pandit & media telah membuktikan adanya korelasi kemenangan Trump memanfaatkan propaganda berita palsu dgn sokongan pendukung berhaluan kanan baru alias 'alt-right' di AS.

Baca Juga : Saat Para Angel Victoria’s Secret Tak Bermakeup | SOLID GOLD BERJANGKA
http://bit.ly/2gEgqLu

Kolumnis Hannah Jane Parkinson di The Guardian pada pertengahan bulan lalu mengkritik Facebook & Twitter yg cenderung menghindar dari tanggung jawab sbg medium informasi yg berpengaruh kepada khalayaknya.

Ia menilai media sosial seperti keduanya lamban & cenderung abai terhadap persoalan yg muncul akibat minimnya pencegahan berita palsu.

Seperti yg diketahui, CEO Facebook Mark Zuckerberg bersikeras dalam beberapa kesempatan bahwa peredaran berita palsu yg hanya 1 persen dari seluruh konten di jejaring sosial itu tak mungkin berdampak ke masyarakat.

Ia merujuk ke kasus terpilihnya Trump.

"Secara pribadi, saya rasa dugaan bahwa berita palsu -yg jumlahnya sedikit sekali- mempengaruhi hasil pemilu itu cukup gila," ucap Zuckerberg tak lama ketika Trump terpilih sbg presiden AS.

Kekhawatiran penyebaran berita palsu tak lagi jadi persoalan AS, namun jg di seluruh dunia.

Uni Eropa pun baru-baru ini mendesak perusahaan raksasa teknologi macam Facebook, Twitter, & Google, untuk mempercepat mencari solusi atas permasalahan ini.

Twitter & media sosial lainnya bukan tanpa usaha.

Twitter misalnya telah merilis fitur untuk 'membungkam' tweet dari akun-akun yg tidak diinginkan.

Meski ditujukan untuk mencegah aksi perisakan, fitur ini dapat dimanfaatkan untuk menangkal agresivitas akun penebar informasi palsu.

Hal serupa jg telah dilakukan media sosial lain.

Instagram punya fitur pembungkam akun-akun tertentu yg mirip dgn Twiitter tadi.

Sedangkan, Facebook masih berupaya keras memperbaiki algoritma mereka agar dapat membedakan mana berita palsu & mana yg asli.

Indonesia, yg menghasilkan 4,1 miliar tweet per tahun, adalah salah satu negara yg paling cerewet di media sosial.

Sedangkan belakangan disinyalir  berita palsu telah berubah menjadi ladang bisnis baru oleh beberapa pihak dgn omzet ratusan juta rupiah per tahun.

Itu sebabnya Indonesia, dgn penetrasi internet yg masih setengah dari total populasi, cukup rentan menghadapi bahaya berita palsu.

Menunggu laporan dari pengguna saja tidak akan cukup.

Perlu ada inisiatif lebih dari platform berbagi informasi tersebut agar mempersempit ruang pergerakan berita palsu.

(Prz - Solid Gold Berjangka)

0 comments :

Posting Komentar