Pemerintah akan memprioritaskan untuk mengejar potensi pajak transaksi online. Hal tersebut dilakukan, karena hingga saat ini pemerintah masih bingung bagaimana melacak kecurangan transaksi, dan siapa yang harus diberi sanksi.
Sebelumnya pemerintah sudah memiliki aturan main perdagangan dengan menggunakan sistem elektronik, yang termaktub dalam Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Di dalamnya, sudah disebutkan soal sanksi.
“Basis hukumnya adalah transaksi, yang dikejar adalah pajak. Jadi, kalau bertransaksi ada pajak yang harus dibayar, seperti PPn,” kata Wakil Menteri Pedagangan Bayu Krisnamurthi, Jumat (4/7/2014).
Dia mengatakan, saat ini pemerintah telah mennyewa sebuah perusahaan software terkemuka untuk bisa melacak transaksi elektronik. “Kita mempermasalahkan, itu (transaksi) membayar pajak atau tidak,” katanya.
Sementara itu, soal sanksi kecurangan transaksi, pemerintah belum memikirkan lebih jauh. Alasannya, kata Bayu, transaksi e-commerce tidak bisa kita telusuri. “Objek hukum regulasi itu apa? Sementara peraturan hukum hanya berlaku untuk wilayah teritorial Indonesia, tidak bisa berlaku di luar itu. Tapi e-commerce itu borderless,” lanjutnya.
Sebelumnya, pemerintah telah mengeluarkan aturan main perdagangan dengan menggunakan sistem elektronik, yang termaktub dalam Undang-undang No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Dalam Pasal 115 UU Perdagangan, disebutkan, “Setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang dan/atau Jasa dengan menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).” (baca: Rugikan Konsumen, Pebisnis Online Bisa Kena Denda Rp 12 Miliar)
0 comments :
Posting Komentar